Halal Bihalal dalam Pandangan Tarjih Muhammadiyah: Antara Kearifan Lokal dan Tuntunan Syariat

Hari Raya Idulfitri merupakan momen penuh kebahagiaan dan spiritualitas bagi umat Islam. Setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa Ramadan, umat Islam kembali kepada fitrah dan merayakan kemenangan spiritual. Di Indonesia, Idulfitri tidak hanya diisi dengan takbir dan salat Id, tetapi juga dengan tradisi unik yang dikenal sebagai halal bihalal.

Sebagai gerakan Islam yang mengedepankan pemurnian ajaran dari syirik, bid‘ah, dan khurafat, Muhammadiyah tentu memiliki sikap tersendiri terhadap tradisi ini. Apakah halal bihalal merupakan bagian dari ajaran Islam? Atau sekadar budaya lokal yang bisa diterima? Artikel ini mencoba mengulasnya dari perspektif tarjih Muhammadiyah.



Asal Usul dan Makna Halal Bihalal

Secara etimologis, “halal bihalal” bukan berasal dari bahasa Arab fushah dan tidak ditemukan dalam al-Qur’an maupun hadis. Istilah ini muncul dari kebiasaan masyarakat Jawa pasca-Idulfitri untuk saling mengunjungi, meminta maaf, dan menyambung silaturahmi. Beberapa ahli sejarah menyebut istilah ini mulai populer pada masa Presiden Soekarno sebagai bentuk rekonsiliasi nasional pasca perpecahan politik.

Walaupun istilahnya tidak dikenal dalam teks-teks klasik, substansi halal bihalal mengandung nilai-nilai Islam yang kuat: silaturahmi, saling memaafkan, ukhuwah, dan persatuan umat.

Dalil-dalil Syar’i tentang Saling Memaafkan dan Silaturahmi

Al-Qur’an dan Hadis sangat menekankan pentingnya saling memaafkan dan mempererat hubungan sosial di antara sesama Muslim. Di antaranya:

"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah (tidak akan) memberi (pertolongan) kepada kaum kerabat, orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nur: 22)

Ayat ini menegaskan bahwa memaafkan orang lain adalah bentuk keimanan dan jalan menuju ampunan Allah.

"Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat." (QS. Al-Hujurat: 10)

Silaturahmi dan rekonsiliasi sosial merupakan perintah langsung dari Allah kepada umat Islam.

"Barangsiapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak akan dikasihi." (HR. Bukhari dan Muslim)
"Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Mereka bertemu, namun saling berpaling. Dan yang terbaik di antara mereka adalah yang memulai mengucapkan salam."  (HR. Bukhari dan Muslim)

Pandangan Muhammadiyah

Dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, tradisi sosial seperti halal bihalal dinilai boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan syariat. Muhammadiyah menekankan bahwa esensi ibadah dalam Islam harus bersumber dari dalil yang jelas. Namun dalam ranah muamalah duniawiyah dan adat kebiasaan sosial, Islam memberikan ruang selama memenuhi kaidah:

“Al-‘Adah Muhakkamah” – Kebiasaan dapat menjadi hukum apabila tidak bertentangan dengan syariat.

Dalam konteks ini, halal bihalal dinilai sebagai adat sosial yang berisi nilai-nilai islami dan bisa diterima dengan beberapa catatan:

Boleh dan Diperbolehkan Jika:

  1. Bertujuan untuk menyambung silaturahmi dan mempererat ukhuwah.
  2. Diisi dengan kegiatan positif, seperti tausiyah, dialog keagamaan, atau santunan sosial.
  3. Tidak bercampur dengan unsur maksiat, seperti pesta yang berlebihan, campur baur tanpa hijab syar’i, atau musik tak senonoh.
  4. Tidak menggantikan esensi ibadah syar’i lainnya.
  5. Tidak diyakini sebagai ibadah ritual yang wajib setiap lebaran.

Tidak Dianjurkan Jika:

  • Menjadikannya sebagai pengganti amalan Islami seperti saling memaafkan sebelum Idulfitri.
  • Mengandung unsur mubazir (pemborosan), kemewahan berlebihan, atau mengarah pada riya’.
  • Menjadi ajang formalitas tanpa mengandung makna ukhuwah dan spiritualitas.

Catatan Tarjih Muhammadiyah

“Halal bihalal sebagai adat sosial bisa diterima dalam Islam selama tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan syariat.” — (Majelis Tarjih dan Tajdid, Himpunan Putusan Tarjih, edisi revisi 2003)

Majelis Tarjih juga menyarankan untuk menggunakan istilah yang lebih mendekati bahasa Islam, seperti:

“Silaturahmi dan Saling Memaafkan Pasca-Ramadan”

Hal ini selaras dengan semangat tajdid Muhammadiyah: kembali kepada ajaran Islam murni tanpa menolak budaya lokal yang baik.

Penutup: Momentum Rekonsiliasi dan Ukhuwah

Tradisi halal bihalal bisa menjadi momentum besar bagi umat Islam untuk kembali mempererat tali ukhuwah dan memperkuat persaudaraan kebangsaan. Di tengah tantangan zaman yang penuh dengan konflik sosial, polarisasi politik, dan degradasi moral, semangat saling memaafkan dan membangun silaturahmi harus terus dijaga.

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan memiliki tanggung jawab untuk membimbing umat agar memaknai halal bihalal bukan sekadar seremoni, tetapi sebagai ibrah spiritual dan sosial. Substansi dari halal bihalal harus tetap dijaga: rekonsiliasi hati, penguatan nilai kasih sayang, serta pembaruan sosial yang Islami dan beradab.

Lebih baru Lebih lama